Langsung ke konten utama

Tersembunyi


Berlabuh diri di hadapan tanggul dan jurang

Jauh dari tentang dirinya saat dini hari mulai ku persembahkan luapan gumam kata-perkata kepada tuan dan puan dirumah.

Berjalan jauh pada poros takdir hingga sampai saat ini berdiri di ujung jembatan yang telah dibuat, dirangkai dan diikat sekian rupa. Kini apa daya tujuannya mulai tumpu bukan menepi tapi memutuskan untuk tidak saling beriringan.  


Saat puan jatuh tertimpa atap sampai-sampai serangkai 2 saudara pun merasa tertimpa pula. Terisak tangis hingga malam tiba dan sesampainya di ujung jembatan yang Tuan sengaja rapuhkan, dan sengaja kau rusakan juga.


Hingga kini apa 2 serangkai itu harus memihak salah satunya ? Mari lihat seperti apa ringkih tangisan yang amat lama dan begitu hebat. Bagiku, hanya seorang anak yang merasa ingin membuka lebar haknya begitu melerai sebuah perdebatan di tengah kekacauan.


Saat masih dini hari, bahkan ku sisipkan nasihatku untuknya. Haruskah berpuluhan tahun terus seperti ini ? Mengingat dimana aku sebagaimana anakmu yang begitu tidak terlihat malang bagimu. Lalu, apadaya utuhnya penyangga rumah ?


Berbicara mengenai nasib. 

Perlu mengingat bagaimana anakmu ini ? Akankah karma tuhan berbalas untuk kehidupan didalam sebuah tembok rumah yang aku impikan hingga mulai ku rangkai agar nampak sekali tuan mencampakkan perkataanku seolah ini hanya ocehan.


Tuan, aku ini seorang anak titipan tuhan yang paling dikasihi. Pantaskah berbicara masalah rumah tangga dimana hanya ada engkau dan wanitamu saja ? Lalu aku dan adik ku ini apa ? Sebetulnya sebuah rumah tangga yang sesungguhnya untuk bersemayam teduh semestinya bagaimana ?


Aku keliru, pada jalan mana aku memihak diantara filosofi hidup yang monoton meskipun di sadari bahwa ini membuat kehidupanku bergelombang atau mengikuti prinsip hidup yang mesti aku ciptakan lagi agar akal sehat dan kepala dinginku terbaharui (?)


begitu terbuang, memang sulit rasanya bisa memisahkan ego dalam relung hati yang paling berat dan tertutupi gengsi yang menjulang tinggi. Begitu malang pula anakmu seorang, naas sungguh buas doa ini amat jauh dari pengharapan dosa.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Serayu

Mari mencoba merangkul semua rasa dijadikan padu tanpa sendu  Lama pula seiring habisnya malam Tiba saatnya berlabuh tanpa kisah pilu Kehangatan dari sebuah kalimat Mampu memanjakan kesenangan hati Beralih diri menjadi tegar Mengubah jalan dan pilihan

Sejauh putaran jarum jam

Gelap dengar   berkali-kali tetap mau menunggu, memang sudah dijanjikan untuk bertemu Seperti apa sebuah takdir ? Sampai tiba di hari akan beranjak pergi untuk menemui kasihnya Seketika merasa janggal dengan pandangannya, mungkin juga perasaannya  Terlihat satu lembar kertas yang di sobek Seharusnya memang telah pergi Lantas dirinya mengira ini kejutan penuh ucapan manis. “...Kau telah menemaniku, mau mempercayai ucapanku dan semua yang telah aku janjikan. Cukup untukmu yang merasa bahagia, walau aku tahu sejatinya ada satu harapan yang tidak tertinggal seperti yang menginginkan untuk menjadi satu hati, kasih. Lebih dari itu tak mau aku memaksakan kehendak, takdir tahu dan aku percaya itu. Boleh kau menunggu ku kembali sampai waktu, takdir, dan doa mu terdengar tuhan, tidak tahu entah kapan itu. abadi lah kebahagiaanmu.” Ada gerimis datang saat sebelum aku membacanya, Telak tidak terbayangkan rasa pilu dari kalimat sendu itu Terganti oleh hujan abadi kala ini, dan Ratap sudah ...