Langsung ke konten utama

Ribuan Nalar


Episode 8 -  Jua, hamba tak memelas di puja.

Terbelalak, tanpa disadari secara berlebihan hadir hingga merasa berada di fase yang menantang, satu sudut nampak orang-orang mengakui pengenalan akan pasangan adalah proses seumur hidup. Padahal luka batinnya mengendap seumur hidup.

Aku sibuk berusaha untuk bertahan, kamu sibuk berusaha untuk meninggalkannya. 

Entah orang mau berkata apa. Perasaan, rindu, kehilangan dan perlahan-lahan melebur hingga di sudut pandang tanpa rasa resah kembali aku tegakkan prinsip meski merasa kehilangan arah dan tujuan hingga kelelahan mengejar jati diri. Selain segelintir perumpamaan prinsip yang membingungkan memang aku sadari bagiku ini terlihat menjijikan atau terlihat menarik, 

Lebih baik aku menangis daripada membuat orang lain menangis, aku sudah sering terluka tapi aku bangga karna tidak pernah menyakiti orang lain.

Setelah dipikir kembali, bukannya tidak pernah menyakiti terkadang diri sendiri tidak menyadari sudah menyakiti atau tidak.

Berlalu, merasa tertinggal juga kehilangan. Kemungkinan menjadi bentuk kilas balik sebuah karma atas kesalahan yang tidak disadari mungkin juga (tidak menyadarinya). Sempat tak terima dengan alasan rasa sakit dalam batin, walau kadang angan pada ruang sempit nan gelap penyesalan & waktu di hanyutkan entah sampai kapan nasib rembulan penuh keadilan ?

Semesta terus melawan arus harapanku yang tulus dan jiwaku berandai-andai, bagaimana jika selama ini do'a ku untuk mendapatkan kesenangan di dunia tak kunjung nyata? 

Kehilangan sosok rumah, bukan pula keberadaan pasangan namun sebuah kepercayaan juga jati diri yang lengah merelakan keacuhan untuk menjaga diri agar tidak lagi berlabuh sampai terjatuh kedua kali hingga kesekian kalinya.

Berkubang dalam lara,

Malam pun telah habis oleh jarum jam yang tak pernah berhenti berputar. Tercekat lidahku beribu kata andai dalam skenario intuisi, yang tentunya akan menyalahkan diri sendiri.

Matahari Terbangun, tapi tidak dengan nalar ku dan untuk selamanya. Meski sempat aku berdo'a namun Tuhan telah mengambil peran. Hilang hingga kedasar lautan, jiwanya tak tergantikan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tersembunyi

Berlabuh diri di hadapan tanggul dan jurang Jauh dari  tentang dirinya saat dini  hari mulai ku persembahkan luapan gumam kata-perkata kepada tuan dan puan dirumah. Berjalan jauh pada poros takdir hingga sampai saat ini berdiri di ujung jembatan yang telah dibuat, dirangkai dan diikat sekian rupa. Ki ni apa daya tujuannya mulai tumpu bukan menepi tapi memutuskan untuk tidak saling beriringan.   Saat puan jatuh tertimpa atap sampai-sampai serangkai 2 saudara pun merasa tertimpa pula. Terisak tangis hingga malam tiba dan sesampainya di ujung jembatan yang Tuan sengaja rapuhkan, dan sengaja kau rusakan juga. Hingga kini apa 2 serangkai itu harus memihak salah satunya ? M ari lihat seperti apa ringkih tangisan yang amat lama dan begitu hebat.  Bagiku, hanya seorang anak yang merasa ingin membuka lebar haknya begitu  melerai sebuah perdebatan di tengah kekacauan. Saat masih dini hari, ba hkan ku sisipkan nasihatku untuknya. Haruskah berpuluhan tahun terus sepert...

Serayu

Mari mencoba merangkul semua rasa dijadikan padu tanpa sendu  Lama pula seiring habisnya malam Tiba saatnya berlabuh tanpa kisah pilu Kehangatan dari sebuah kalimat Mampu memanjakan kesenangan hati Beralih diri menjadi tegar Mengubah jalan dan pilihan

Sejauh putaran jarum jam

Gelap dengar   berkali-kali tetap mau menunggu, memang sudah dijanjikan untuk bertemu Seperti apa sebuah takdir ? Sampai tiba di hari akan beranjak pergi untuk menemui kasihnya Seketika merasa janggal dengan pandangannya, mungkin juga perasaannya  Terlihat satu lembar kertas yang di sobek Seharusnya memang telah pergi Lantas dirinya mengira ini kejutan penuh ucapan manis. “...Kau telah menemaniku, mau mempercayai ucapanku dan semua yang telah aku janjikan. Cukup untukmu yang merasa bahagia, walau aku tahu sejatinya ada satu harapan yang tidak tertinggal seperti yang menginginkan untuk menjadi satu hati, kasih. Lebih dari itu tak mau aku memaksakan kehendak, takdir tahu dan aku percaya itu. Boleh kau menunggu ku kembali sampai waktu, takdir, dan doa mu terdengar tuhan, tidak tahu entah kapan itu. abadi lah kebahagiaanmu.” Ada gerimis datang saat sebelum aku membacanya, Telak tidak terbayangkan rasa pilu dari kalimat sendu itu Terganti oleh hujan abadi kala ini, dan Ratap sudah ...